Reformasi Birokrasi merupakan satu dari sekian program pembangunan yang menjadi prioritas pembangunan Kabupaten Sintang tahun 2010.
Reformasi birokrasi adalah sebuah ide besar yang dicanangkan oleh pemerintah SBY sejak awal masa pemerintahan beliau. Reformasi birokrasi kemudian terus menerus di dorong oleh pemerintah agar dijadikan prioritas pembangunan sebagai jalan menuju tata kelola pemerintahan yang baik, efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat struktur birokrasi di Indonesia amat sangat rumit dan gemuk.
Reformasi birokrasi menyangkut banyak aspek dalam rangka pengelolaan sistem pemerintahan untuk optimalisasi pelayanan publik. Untuk itu penataannya tidak semata-mata menyangkut sistem tetapi juga menyangkut peningkatan sumber daya manusia.
Selain itu reformasi birokrasi juga menyangkut aspek profesionalisme. Penempatan personil berdasarkan konsep right man in the right place menjadi sebuah keharusan, sehingga kinerja aparatur pemerintah bisa semakin meningkat.
Bagi Kabupaten Sintang reformasi birokrasi bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Di era otonomi daerah serta dengan sistem pemilu kada yang menuntut energi dan sumber daya yang besar seperti saat ini, senang tidak senang mempengaruhi cara pandang seorang kepala daerah dalam menentukan, mempertimbangkan dan menempatkan seseorang pada posisi jabatan tertentu.
Pada saat pemilu kada berlangsung, tidak sedikit aparat pemerintah terlibat dalam hal dukung mendukung pasangan calon kepala daerah. Akibatnya tanpa kita sadari para aparat ini menjadi terkotak-kotak dalam pilihan mereka masing-masing. Dengan sendirinya terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat pemerintah, demi mempengaruhi masyarakat untuk memilih calon yang mereka dukung dengan menggunakan fasilitas maupun wewenang yang mereka miliki. Kondisi ini tentu mempengaruhi kinerja pemerintah dalam melaksanakan tugas pelayanan publik dan fungsi-fungsi lainnya.
Di Kabupaten Sintang Pemilu Kada baru saja usai dilaksanakan melalui serangkaian proses yang teramat panjang, melelahkan dan menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit. Penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi yang berujung pada perhitungan ulang dan pemilihan ulang di 4 kecamatan mengharuskan terjadinya penambahan biaya yang besar, diikuti dengan perdebatan panjang di DPRD mengakibatkan kondisi sosial politik yang nyaris menimbulkan kerusuhan masa. Disisi lain, keterlibatan aparat pemerintah dalam tim pemenangan masing-masing pasangan calon mengakibatkan kinerja pemerintah menurun drastis. Pelayanan publik menjadi terkotak-kotak untuk kepentingan kelompok, demi menarik simpati agar memperoleh dukungan untuk pasangan calon yang didukung.
Manakala pemilu kada telah usai, bupati dan wakil bupati terpilih siap untuk bekerja, maka persoalan baru mulai muncul yaitu bagaimana menempatkan personil yang tepat untuk menunjang kinerja pemerintahan yang baru ? Dengan kondisi birokrasi yang terkotak-kotak dalam pola dukungan tentu amat mempengaruhi penilaian pimpinan daerah terpilih untuk menempatkan posisi seseorang. Bagi yang mendukung pasangan calon yang menang, merasa berhak untuk meminta posisi tertentu ; bagi pendukung pasangan calon yang kalah merasa pasti akan disingkirkan.
Dengan situasi demikian maka reformasi birokrasi menjadi sebuah jalan panjang, yang belum bisa menunjukkan arah yang seharusnya. Kriteria dan profesionalisme mungkin akan sedikit di kesampingkan, demi tuntutan kelompok yang merasa telah memenangkan pasangan calon. Tentu konsep right man in the right place tidak dapat sepenuhnya diterapkan, mengingat kepala daerah terpilih pasti akan mendapat tekanan dari kelompok pendukung dalam menempatkan posisi jabatan seseorang.
Sampai saat ini Kabupaten Sintang belum tuntas melaksanakan mutasi jabatan strategis dalam rangka reformasi birokrasi. Akibatnya pelaksanaan pelayanan publik menjadi terkendala. Terdapat beberapa pos jabatan yang belum dilakukan pergeseran mengundang perdebatan dan polemik, sedangkan jabatan yang telah dilakukan pergeseran pun masih menyisakan persoalan. Hal ini kemudian mengundang perdebatan sampai ke ranah publik, akibatnya kepala daerah dapat saja dianggap lebih mementingkan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan masyarakat.
Karena situasi yang berkepanjangan ini, kepercayaan publik terhadap kepala daerah semakin menurun, kinerja aparat yang rendah menjadi rentan untuk di manfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan pemerintah, sehingga masyarakat kemudian terprovokasi. Hal ini mulai terlihat dengan adanya aksi demonstrasi masyarakat yang merasa tidak puas dengan kinerja pemerintah daerah.
Perlu kearifan dan pengertian semua pihak agar dapat menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Di perlukan keberanian dari pihak-pihak yang berwenang untuk tetap meletakkan kerangka profesionalisme dalam penempatan jabatan strategis demi kemajuan bersama. Reformasi birokrasi setidaknya menjadi jalan yang harus di lewati walaupun merupakan jalan yang terjal dan berkerikil cadas.
Reformasi birokrasi adalah sebuah ide besar yang dicanangkan oleh pemerintah SBY sejak awal masa pemerintahan beliau. Reformasi birokrasi kemudian terus menerus di dorong oleh pemerintah agar dijadikan prioritas pembangunan sebagai jalan menuju tata kelola pemerintahan yang baik, efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat struktur birokrasi di Indonesia amat sangat rumit dan gemuk.
Reformasi birokrasi menyangkut banyak aspek dalam rangka pengelolaan sistem pemerintahan untuk optimalisasi pelayanan publik. Untuk itu penataannya tidak semata-mata menyangkut sistem tetapi juga menyangkut peningkatan sumber daya manusia.
Selain itu reformasi birokrasi juga menyangkut aspek profesionalisme. Penempatan personil berdasarkan konsep right man in the right place menjadi sebuah keharusan, sehingga kinerja aparatur pemerintah bisa semakin meningkat.
Bagi Kabupaten Sintang reformasi birokrasi bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Di era otonomi daerah serta dengan sistem pemilu kada yang menuntut energi dan sumber daya yang besar seperti saat ini, senang tidak senang mempengaruhi cara pandang seorang kepala daerah dalam menentukan, mempertimbangkan dan menempatkan seseorang pada posisi jabatan tertentu.
Pada saat pemilu kada berlangsung, tidak sedikit aparat pemerintah terlibat dalam hal dukung mendukung pasangan calon kepala daerah. Akibatnya tanpa kita sadari para aparat ini menjadi terkotak-kotak dalam pilihan mereka masing-masing. Dengan sendirinya terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat pemerintah, demi mempengaruhi masyarakat untuk memilih calon yang mereka dukung dengan menggunakan fasilitas maupun wewenang yang mereka miliki. Kondisi ini tentu mempengaruhi kinerja pemerintah dalam melaksanakan tugas pelayanan publik dan fungsi-fungsi lainnya.
Di Kabupaten Sintang Pemilu Kada baru saja usai dilaksanakan melalui serangkaian proses yang teramat panjang, melelahkan dan menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit. Penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi yang berujung pada perhitungan ulang dan pemilihan ulang di 4 kecamatan mengharuskan terjadinya penambahan biaya yang besar, diikuti dengan perdebatan panjang di DPRD mengakibatkan kondisi sosial politik yang nyaris menimbulkan kerusuhan masa. Disisi lain, keterlibatan aparat pemerintah dalam tim pemenangan masing-masing pasangan calon mengakibatkan kinerja pemerintah menurun drastis. Pelayanan publik menjadi terkotak-kotak untuk kepentingan kelompok, demi menarik simpati agar memperoleh dukungan untuk pasangan calon yang didukung.
Manakala pemilu kada telah usai, bupati dan wakil bupati terpilih siap untuk bekerja, maka persoalan baru mulai muncul yaitu bagaimana menempatkan personil yang tepat untuk menunjang kinerja pemerintahan yang baru ? Dengan kondisi birokrasi yang terkotak-kotak dalam pola dukungan tentu amat mempengaruhi penilaian pimpinan daerah terpilih untuk menempatkan posisi seseorang. Bagi yang mendukung pasangan calon yang menang, merasa berhak untuk meminta posisi tertentu ; bagi pendukung pasangan calon yang kalah merasa pasti akan disingkirkan.
Dengan situasi demikian maka reformasi birokrasi menjadi sebuah jalan panjang, yang belum bisa menunjukkan arah yang seharusnya. Kriteria dan profesionalisme mungkin akan sedikit di kesampingkan, demi tuntutan kelompok yang merasa telah memenangkan pasangan calon. Tentu konsep right man in the right place tidak dapat sepenuhnya diterapkan, mengingat kepala daerah terpilih pasti akan mendapat tekanan dari kelompok pendukung dalam menempatkan posisi jabatan seseorang.
Sampai saat ini Kabupaten Sintang belum tuntas melaksanakan mutasi jabatan strategis dalam rangka reformasi birokrasi. Akibatnya pelaksanaan pelayanan publik menjadi terkendala. Terdapat beberapa pos jabatan yang belum dilakukan pergeseran mengundang perdebatan dan polemik, sedangkan jabatan yang telah dilakukan pergeseran pun masih menyisakan persoalan. Hal ini kemudian mengundang perdebatan sampai ke ranah publik, akibatnya kepala daerah dapat saja dianggap lebih mementingkan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan masyarakat.
Karena situasi yang berkepanjangan ini, kepercayaan publik terhadap kepala daerah semakin menurun, kinerja aparat yang rendah menjadi rentan untuk di manfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan pemerintah, sehingga masyarakat kemudian terprovokasi. Hal ini mulai terlihat dengan adanya aksi demonstrasi masyarakat yang merasa tidak puas dengan kinerja pemerintah daerah.
Perlu kearifan dan pengertian semua pihak agar dapat menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Di perlukan keberanian dari pihak-pihak yang berwenang untuk tetap meletakkan kerangka profesionalisme dalam penempatan jabatan strategis demi kemajuan bersama. Reformasi birokrasi setidaknya menjadi jalan yang harus di lewati walaupun merupakan jalan yang terjal dan berkerikil cadas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar